Kisah TNI AU, Suryadarma Mengebom Kapal Jepang (Bagian 1)

Repro TNI AU

ANGKASAREVIEW.COM – Sembilan pesawat pengebom terbang menuju Tarakan, Kalimantan untuk menghancurkan kapal penjelajah Jepang. Delapan pesawat tertembak musuh, satu selamat. Di situlah Suryadarma berada.

Lulus dari Militaire Akademie Breda, Belanda pada September 1934, R. Suryadi Suryadarma dilantik menjadi perwira. Mula-mula ia ditempatkan di Nijmingen, Belanda. Tugas tersebut hanya dilakoni selama satu bulan dan setelah itu Suryadarma mendapat penempatan di Batalyon 1 Infanteri, Magelang.

Selama dua tahun, Suryadarma bertugas di Magelang, Jawa Tengah dan pada Desember 1936 ia dipindahkan ke Bandung, Jawa Barat.

Di Kota Kembang, Suryadarma bertugas di Luchvaart Afdeling (Bagian Penerbangan) tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Kepindahan ke Bandung disambut gembira oleh Suryadarma sebab dengan demikian peluang untuk mewujudkan cita-citanya menjadi penerbang semakin terbuka. Di Bandung Suryadarma terlebih dahulu mengikuti pendidikan kursus kesenjataan (Wapencursus) dan pada Desember 1937 ia mendaftarkan diri ke Sekolah Penerbang Andir.

Menjadi navigator

Saat itu pangkat Suryadarma sudah letnan satu. Pendidikan sekolah pilot dijalaninya selama satu setengah tahun. Juli 1938 Suryadarma kembali mendapat kesempatan bersekolah lagi di Sekolah Pengintai (Waarnemerschool). Pendidikan ini diselesaikan selama satu tahun dan setelah lulus Suryaarma mendapat penugasan di Kesatuan Pembom (Vliegtuipgroep) Glenn Martin di Andir, Bandung.

Setahun kemudian, ia mendapat surat pindah tugas menjadi instruktur di Sekolah Penerbang dan Pengintai (Vlieg en Waarnemerschool) di Kalijati, Subang. Penugasan sebagai instruktur dijalani Suryadarma selama setahun dan setelah itu ia kembali ke Kesatuan Pembom, 7 e Vliegtuig Afdeling, Reserve Afdeling Bommenwerners mulai Desember 1941 hingga tentara Jepang mendarat di Indonesia pada 8 Maret 1942.

Sebagai seorang navigator (waarnemer) atau pengintai, Suryadarma dibekali pengetahuan memimpin atau melaksanakan operasi udara. Mulai dari pengintaian taktis/strategis secara visual maupun menggunakan alat pemotret, sebagai penghubung udara (air liaisson), kontrol penembakan artileri dari udara, dan pengeboman udara baik secara individu maupun formasi.

Semua itu merupakan bagian dari strategi dan taktik Angkatan Darat KNIL. Oleh karenanya, Belanda mengambil penerbang dan pengintai dari lulusan Akademi Militer yang berkualifikasi dari kecabangan Infanteri, Artileri, dan lainnya.

Sobat Angkasa Review, untuk diketahui bahwa tidak banyak pemuda Indonesia asli atau pribumi yang memperoleh kesempatan menjadi penerbang kala itu. Tahun 1932, ada satu orang bangsa Indonesia tercatat sebagai Siswa Navigator di Waarnemerschool. Dia adalah Kapten Wardiman. Baru beberapa tahun kemudian Suryadi Suryadarma masuk menjadi Siswa Penerbang (1937) kemudian menjadi Siswa Navigator (1938) dan lulus tahun 1939.

Tahun 1935, tercatat tiga-empat orang perwira dan beberapa bintara yang masuk pendidikan itu. Tahun 1939 bertambah lagi 40-50 orang dan tahun 1941 diadakan pengerahan tenaga Vrijwillig Vliegen Corps (VVC) atau Korps Sukarela melalui Ikatan Dinas Pendek.

Tropen Museum

Ada juga yang diterima dari Perwira Cadangan (Reserve Officieren), Perwira Ikatan Dinas Pendek (Kort Verband Leerling Vlieger) dan pemuda-pemuda Indonesia yang lulus Sekolah Menengah (Inheemse Groep). Mereka dididik menjadi penerbang yang dikelompokkan dalam Perwira Ikatan Dinas Pendek yang biasa disebut ‘Aspirant Officer Kort Verband Leering Vlieger’.

Dari kelompok perwira cadangan dan dari lulusan sekolah menengah berjumlah 10 orang. Dua orang lulus mencapai ijazah Brevet Penerbang Tingkat Atas (GMB – Groet Militair Brevet), yaitu Adisutjipto dan Sambujo Hurip. Namun Sambujo Hurip gugur di Malaya sebagai kopilot pesawat Glenn Martin semasa Perang Dunia II.

Sementara yang mencapai ijazah Brevet Penerbang Tingkat Pertama (KMB – Klein Militair Brevet) berjumlah lima orang. Di antaranya Husein Sastranegara, Sulistyo, dan H. Suyono. Sedangkan tiga orang lagi gagal. Dengan demikian sampai akhir PD II hanya satu orang saja dari bangsa Indonesia yang menjadi pilot dengan kualifikasi GMB, yaitu Adisutjipto sebagai Waarnemer II.

Roni Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *