Tidak Membeli F-35, Penerbang Tempur Jerman Jadi Pilot Lapis Kedua di NATO

TyphoonIstimewa

ANGKASAREVIEW.COM – Keputusan Jerman untuk tidak membeli jet tempur F-35 Lightning II dari Amerika Serikat yang dinyatakan minggu lalu, membawa konsekuensi pada eksistensi Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) di kelompok elite kekuatan udara NATO.

Jerman tidak lagi dianggap sebagai “leader” karena tidak memiliki armada paling canggih (F-35) sebagaimana telah dimiliki delapan negara NATO lainnya.

Untuk diketahui, delapan negara NATO yang saat ini telah menggunakan F-35 adalah Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Belanda, Norwegia, Kanada, Italia, dan Turki. Ditambah satu negara lagi akan menyusul, yaitu Belgia yang masih menunggu pengiriman 34 unit F-35.

Bagi Jerman, keputusan untuk tidak memilih (dan membeli) F-35 sebagai pengganti 90 armada pembom tempur Panavia Tornado dapat dipahami sejumlah pihak.

Defense News, dalam kolom komentar misalnya menulis, Jerman memang tidak melihat adanya ancaman signifikan dari Rusia terhadap negaranya. Sehingga, Berlin merasa tidak terlalu perlu untuk membeli F-35.

Namun demikian, dengan tidak mengoperasikan F-35, artinya Jerman tidak ikut berkontribusi meningkatkan kekuatan NATO di wilayah Timur. Hal yang sama dilakukan oleh Perancis.

Setelah mengenyahkan F-35 dari calon pengganti Tornado, kini tinggal dua kandidat yang akan dipilih Jerman. Yaitu, Eurofighter Typhoon dan Boeing F/A-18 Super Hornet. Sebelumnya, Jerman juga telah mengesampingkan F-15E Strike Eagle sebagai calon pengganti Tornado.

Typhoon memiliki peluang paling besar karena sebelumnya Jerman juga telah menetapkan pembelian 177 unit jet sayap delta ini untuk Luftwaffe, di mana 122 di antaranya telah diterima. Bila ditambah lagi 90 unit, maka Luftwaffe akan mengoperasikan 267 Typhoon.

Dari sisi pemeliharaan, pelatihan, dan operasional, menggunakan satu jenis pesawat jelas lebih menguntungkan. Walaupun, tetap ada risiko bisa grounded bersamaan apabila ditemukan hal-hal fatal terkait teknis. Misalnya kegagalan struktur, kegagalan sistem, dan sebagainya.

Pilihan kedua bagi Jerman adalah, mengganti seluruh Tornado dengan F/A-18 Super Hornet dari Amerika Serikat. Secara poitis dapat diartikan, Jerman tetap bersahabat baik dengan Paman Sam. Pilihan ketiga, membeli secara kombinasi Typhoon dan Super Hornet.

Namun, dengan membeli Super Hornet, toh artinya sama saja Jerman hanya mengoperasikan jet tempur generasi keempat (plus). Artinya pula, Jerman tetap berada satu kelas di belakang negara-negara NATO lainnya yang telah menggunakan pesawa tempur siluman.

Dengan hanya mengoperasikan jet tempur generasi keempat, Jerman tidak bisa ikut dalam misi gabungan penting menggunakan F-35 yang membutuhkan interoperabilitas jet tempur generasi kelima. Misi serangan nuklir secara “senyap” adalah contoh yang didengungkan NATO.

F-35USAF

Jerman akan terkucil di luar grup elite NATO, yang artinya bahwa para penerbang tempur Jerman hanya menjadi pilot lapis kedua untuk melaksanakan misi-misi sekunder.

Dapat dipastikan, selama dua dekade ke depan kekuatan AU Jerman akan tertinggal sampai tahun 2040, karena Jerman dan Perancis baru bisa mewujudkan jet tempur generasi masa depan mereka (Future Combat Air System/FCAS) yang kini baru dimulai risetnya. Jet siluman FCAS dicanangkan kedua negara akan menggantikan peran Typhoon dan Rafale mulai 2040.

Keengganan Pemerintah Jerman untuk membeli F-35, sebelumnya ditentang keras oleh Kepala Staf Luftwaffe Letjen Karl Muellner.

Muellner menyatakan, Luftwaffe sangat membutuhkan jet tempur generasi kelima. Ia pun ngotot memperjuangkan hal itu secara terbuka. Namun, Pemerintah Jerman kemudian mengingatkannya untuk tidak lagi mengucapkan kata-kata F-35 kepada publik. Kalau masih dilakukan, ia pun terancam dipecat.

Sebelum dipecat, Muellner akhirnya memilih untuk pensiun dini.

Mengenyahkan F-35 sebagai pengganti Tornado disebut-sebut sejumlah pihak lebih kepada dasar pertimbangan politis dan industrial. Pembelian Typhoon dalam jumlah banyak secara otomatis akan meningkatkan lapangan pekerjaan baru domestik dan sekaligus melanggengkan proyek FCAS Jerman-Perancis.

Sebaliknya, bila Jerman membeli F-35, apalagi dalam jumlah banyak, maka proyek FCAS terancam bubar seperti halnya telah diingatkan Perancis. Perancis sebelumya juga telah mengritik keras Belgia yang memutuskan membeli F-35.

Terakhir, saran lain tetap mengemuka. Demi menjaga marwah Jerman dalam posisi kepemimpinan kekuatan udara di Eropa, Bundesrepublik Deutschland sangat disarankan untuk membeli jet tempur F-35 walau dalam jumlah sedikit saja.

Akan tetapi, ini pun tetap menghadapi kerikil-kerikil tajam dan akan memancing letupan perselisihan. Terutama dalam kaitan kesepakatan hubungan Jerman dan Perancis. Kita tunggu perkembangan berikutnya…

Roni “Raider” Sontani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *