BAE Hawk 209, Cabe Rawit Inggris (Bagian 2 – TNI AU)

Rangga Baswara

Dikawasan Asia Tenggara, TNI AU adalah pengguna terbanyak seri Hawk 200 dengan mengakuisisi sebanyak 34 unit. TNI AU juga pemesan terakhir (tahun 1993), karena setelah itu BAE tak mendapatkan pesanan lagi untuk seri Hawk 200-nya.

by RANGGA BASWARA SAWIYYA | ANGKASA REVIEW

Hawk TNI AU mendapatkan nama resmi sebagai Hawk 209. Pengirimannya memakan waktu hampir tiga tahun, gelombang pertama tiba di Tanah Air tahun 1996 dan tuntas seluruhnya pada 1999.

Seperti halnya Hawk 208 TUDM (AU Malaysia), sebagian dari Hawk 209 milik TNI AU juga dilengkapi dengan probe pengisian bahan bakar di udara untuk memperpanjang jangkauan tempurnya.

Hawk 209 ditempatkan dalam dua skadron dibagi rata jumlahnya, yakni Skadron Udara 12 ‘Black Panther’ di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau dan Skadron Udara 1 ‘Elang Katulistiwa’ di Lanud Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.

Perihal pengalaman perang, TNI AU menggunakan Hawk 209 pertama kali dalam konflik bersenjata di Tanah Air. Tepatnya pada tahun 2003 saat melawan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (kini Provinsi Aceh).

Dalam operasi pemulihan keamanan itu sebanyak empat unit Hawk 209 TNI AU ambil peranan sebagai ‘air escort’ yakni mengawal operasi penerjunan pasukan Linud Kostrad menggunakan enam pesawat C-130 Hercules untuk mengambil alih Lanud Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh.

Dengan sandi ‘Sriti Flight’, Hawk 209 meluncur 30 menit setelah para Hercules mengudara dari tempat yang sama dari Lanud Polonia, Medan sebagai pangkalan aju. Keempat Hawk tersebut bernomor ekor TT-0205, TT-0212, TT-0213, dan TT-0214 yang diawaki leader Mayor Pnb Henry Alfiandi (saat itu Komandan Skadron Udara 12).

Usai mengawal operasi penerjunan Hercules, keempat Hawk 209 kembali bergegas mengambil posisi selanjutnya. Kali ini melindungi misi pendaratan PPRC Marinir di Pantai Jalo pada hari yang sama.

Rangga Baswara

Meski memiliki kemampuan serang darat yang mumpuni, keempat Hawk 209 tidak membopong bom atau tabung peluncur roket karena klausul pembelian Hawk 209/109 dengan Pemerintah Inggris sedari awal memang tak boleh digunakan dalam konflik internal dalam negeri.

Dalam misi kawal tersebut, setiap Hawk 209 membawa dua tangki eksternal (drop tank) dan sepasang rudal AIM-9 Sidewinder di ujung sayapnya serta mengusung kanon Aden 30 mm di bawah perutnya.

Meski tak satupun dari Hawk 209 melepaskan butiran munisi kanonnya ke sasaran selama operasi tersebut, Pemerintah Inggris tetap melakukan protes atas penggunaan Hawk 209.

Selain terlibat konflik internal, jet tempur yang kala itu belum genap tiga tahun digunakan TNI AU ini pernah juga terlibat insiden yang cukup menegangkan dengan dua F/A-18 Hornet AU Australia (RAAF) yang menerobos masuk wilayah udara Kupang, NTT.

Kejadian itu berlangsung pada 16 September 1999 tak lama setelah PBB mengumumkan hasil jajak pendapat rakyat Timor Timur. Satu unit Hawk 209 yang dipiloti oleh Kapten Pnb Azhar Aditama dan dikawal sebuah Hawk 109 berhasil memburu dan menguntit F/A-18 Hornet  AU Australia.

Namun akhirnya sang Hornet dibiarkan pulang karena tak ada perintah untuk menembaknya. Dari kejadian ini terbukti kemampuan Hawk 209 tak bisa dipandang sebelah mata. Biar kecil bak cabe rawit, ‘pedasnya’ tak bisa diremehkan.

Kini usia Hawk 209 TNI AU genap 22 tahun. Dengan perawatan yang baik usia pakainya masih layak untuk 5-10 tahun kedepan hingga datang penggantinya. Upaya lain selain perawatan berkala adalah upgrade kemampuan untuk beberapa Hawk 209.

Dok. TNI AU

Salah satunya dengan pemasangan radar warning receiver (RWR) baru SEER buatan Finmeccanica, Italia yang akan menggantikan posisi Sky Guardian 200. Kontraknya disepakati dalam Singapore Airshow yang berlangsung Februari tahun 2016 silam.

Perangkat serupa sebelumnya telah sukses dipasang pada pesawat Aero L-159 ALCA milik AU Ceko yang secara signifikan meningkatkan kemampuannnya untuk mengidentifikasi ancaman dari udara, darat, maupun laut.

Berkaitan dengan sosok penerusnya, tentunya TNI AU sudah memiliki rencana strategis menentukan kriterianya. Hampir pasti sang calon pengganti merupakan penempur multiperan dari generasi 4,5 seperti Lockheed Martin F-16V, Eurofighter Typhoon, Saab JAS-39 Gripen atau mungkin dari dalam negeri yaitu IF-X kalau memang sudah tersedia.

Sembari menunggu sang pengganti hadir, sang ‘Elang Tempur’ tentunya akan tetap setia mengepakkan sayapnya menjaga wilayah Pertiwi dari ancaman pengacau baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *