Sanjung Amerika, Ukraina Bangga Gunakan Rudal Antitank Javelin Buatan Paman Sam

Rudal JavelinUS Army

ANGKASAREVIEW.COM – Ketegangan antara Ukraina dan Rusia terjadi karena dalam banyak hal Ukraina tidak lagi menganggap Rusia sebagai saudara sekandung pecahan Uni Soviet. Dipicu oleh tersingkirnya pemerintahan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych yang pro-Rusia dalam Revolusi Ukraina 2014, Ukraina pun memantapkan diri untuk lebih mendekat ke Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Tindakan pemerintahan baru yang secara terang-terangan menentang kelompok pro-Rusia, membuat Rusia, pewaris terbesar Beruang Merah, geram terhadap negara tetangga yang beribukota di Kiev tersebut.

Di tahun itu, para demonstran pro-Rusia di Ukraina menyerbu gedung-gedung utama pemerintahan, pangkalan militer, dan fasilitas telekomunikasi menuntut dilaksanakannya referendum di seluruh negeri termasuk di Semenanjung Krimea seperti halnya tuntutan Moskow. Bersamaan dengan itu Rusia mengerahkan pasukannya ke wilayah perbatasan dan kemudian menduduki Krimea.

Sebagian besar masyarakat internasional tidak mengakui aneksasi itu dan menyatakan Krimea merupakan wilayah Ukraina. Namun, Rusia tetap mengelola Krimea sebagai dua subyek federal: Republik Krimea dan Kota Federal Sevastopol. Penggabungan itu kemudian diratifikasi oleh Presiden Vladimir Putin melalui pengesahan Perjanjian Adopsi. Ukraina jelas tidak terima dan hingga kini terus berupaya mengambil kembali Krimea.

Beda dengan Rusia yang memiliki kekuatan militer sangat besar dan sangat percaya diri mengusung legasi Uni Soviet sebagai adidaya Blok Timur, Ukraina tampak lebih lemah dan membutuhkan banyak dukungan dari negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Faktor utama tentu saja akibat ambruknya perekonomian negara itu sebelum terjadinya Revolusi Ukraina sehingga Ukraina sangat membutuhkan suntikan dana pinjaman yang sangat besar dari negara lain.

Presiden Yanukovych yang tadinya akan menandatangani perjanjian bantuan ekonomi dengan Uni Eropa tiba-tiba membatalkan rencana itu dan memilih bantuan yang ditawarkan Rusia. Dari situlah gejolak pertentangan berawal.

Dalam upaya itu, Ukraina kemudian mengundang Paman Sam dan negara-negara Eropa Barat untuk masuk lebih jauh ke teritorial timur yang dahulu semasa Uni Soviet sangat tabu dimasuki.

Jalinan persahabatan baru itu sudah dapat ditebak berujung pada terjadinya bisnis senjata. Terlebih karena Ukraina butuh alat-alat perang guna mengimbangi Rusia. Paman Sam pun menawarkan beragam persenjataan, salah satunya adalah rudal antitank FGM148 Javelin yang sudah terbukti ampuh dalam perang di Irak, Afghanistan, maupun kini di Suriah. Melalui proses yang tidak berbelit-belit penjualan itu disepakati kedua belah pihak pada Desember 2017.

Selasa lalu, saking gembiranya mendapat pasokan senjata dari AS, Presiden Ukraina Petro Poroshenko membuat cuitan di akun twitter. Ia menulis: “Akhirnya, saatnya telah tiba. Hari ini untuk pertama kalinya di Ukraina telah dicoba rudalĀ Javelin. Senjata pertahanan yang sangat efektif, yang akan digunakan jika terjadi serangan Rusia terhadap posisi pasukan Ukraina.”

Melalui rekaman video yang disiarkan, Ukraina menguji coba rudal itu. Presiden Poroshenko pun tampil memberikan pernyataan-pernyataannya.

Youtube

Poroshenko juga menulis, ia sangat berterima kasih kepada para pejabat negara AS, termasuk Presiden Donald Trump dan Menteri Pertahanan Jim Mattis yang telah merestui penjualan Javelin kepada negerinya.

Maret 2018, Kementerian Luar Negeri AS menyatakan telah memroses pengiriman 210 rudal Javelin dan 37 peluncurnya senilai 47 juta dolar AS. Catatan penting menyertai penjualan ini, bahwa senjata hanya dapat digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan para pemberontak dan bukan digunakan untuk melakukan penyerangan.

Dikutip dari Defense News berdasar data PBB, pertempuran antara tentara Ukraina dan kelompok pro-Rusia masih memanas di Donbass, wilayah timur Ukraina, negeri berpenduduk 45,5 juta jiwa. Diperkirakan 10.000 orang telah tewas akibat konflik bersenjata ini termasuk di dalamnya 2.700 masyarakat sipil.

FGM-148 Javelin buatan Raytheon dan Lockheed Martin tidak lain merupakan rudal panggul antitank jenis fire-and-forget yang menggunakan panduan inframerah untuk mencapai target sasarannya seperti kendaraan lapis baja. Sistem ini sangat kontras dengan rudal antitank yang dipandu menggunakan kawat di mana dibutuhkan penembak untuk memandu rudal hingga mencapai targetnya.

Pada Javelin, operator rudal tinggal melaksanakan penembakan dan setelah itu bisa pergi mencari tempat perlindungan diri. Rudal ini dapat digunakan pada segala kondisi cuaca baik siang maupun malam hari.

RONI SONTANI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *